Riba; Sebuah Praktik Ekonomi yang Dilarang Islam

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillah, Ruangku-Inspirasiku dapat kembali menulis artikel. Kali ini kami menulis artikel berjudul Riba; Sebuah Praktik Ekonomi yang DIlarang Islam. Seperti biasa, artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi penugasan program ILSP BDI Pertamina Hulu Mahakam. Disamping itu, target dari penulisan ini juga sebagai wawasan terkait praktik riba kepada sobat muslim ruangku-inspirasiku. Sistematika pembahasan artikel ini terdiri dari sejarah riba, jenis-jenis riba, bahaya riba serta solusi keluar dari riba. Semoga bermanfaat...

gambar: albaitu.com

SEJARAH RIBA
Beberapa pakar ekonomi memperkirakan bahwa praktik riba telah ada sejak manusia mengenal alat pembayaran berupa emas dan logam. Riba telah dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babilonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban Ibrani Yahudi.

Berdasarkan sejumlah referensi, selain penjelasan di atas masih terdapat beberapa versi tentang kapan sejarah praktik riba dimulai. Namun perkiraan-perkiraan tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya.

Satu-satunya referensi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejarah dari Al-Quran mengenai praktik riba yang dilakukan pada peradaban Yahudi. Q.S. An-nisa(4):160-161 menjelaskan bahwa Bani Israil(Umat Nabi Musa) pada saat itu telah melakukan riba dan Allah telah melarang mereka memakan riba,



160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

Berdasarkan informasi dari ayat tersebut, umat Yahudi(Bani Israil) sebelum masa Nabi Muhammad SAW. telah melakukan praktik riba. Kemudian Ahli sejarah mengatakan bahwa umat Yahudi memperkenalkan praktik riba kepada bangsa Arab di semenanjung Arabia, tepatnya di kota Thaif dan Yatsrib(madinah). Di dua kota tersebut Yahudi berhasil meraup keuntungan yang besar, sampai-sampai orang arab jahiliyah menggadaikan anak, istri dan bahkan diri mereka sendiri sebagai jaminan hutang riba. Bila tidak mampu untuk melunasi hutang, maka jaminan mereka akan dijadikan sebagai budak Yahudi. Dari kota Thaif kemudian praktik riba menyebar ke kota Mekah dan dipraktikkan oleh kaum bangsawan Quraisy jahiliyah.

JENIS-JENIS RIBA
Secara umum, riba dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Yaitu;(1) riba hutang piutang dan (2) riba jual beli, penjelasannya sebagai berikut:
A. Riba Hutang Piutang(Riba ad-Duyun)
1. Riba Jahiliyah
Riba ini terdapat pada hutang yang dibayar melebihi dari hutang pokoknya. Dengan kata lain, ada tambahan selain daripada nominal yang dipinjamkan. Dalam konteks riba jahiliyah, hal ini dikarenakan si peminjam tidak mampu untuk membayar pada waktu yang telah ditetapkan. Adapun penambahan hutang yang dibayarkan akan semakin besar bersamaan dengan semakin mundurnya waktu pelunasan hutang. Sistem tersebut dikenal juga dengan sistem riba mudha’afah(melipatgandakan uang).
Contoh : Hendi meminjam uang dengan Yusuf sebesar Rp1.000.000,00 dengan tempo 3 bulan. Saat waktunya tiba Yusuf meminta uang yang dipinjam, akan tetapi Hendi belum dapat membayar dan meminta waktu tambahan satu bulan. Yusuf menyetujui penambahan waktu dengan syarat uang yang harus dibayar menjadi Rp1.300.000,00. Penambahan jumlah tersebut termasuk kategori riba jahiliyah.

2. Riba Qardh
Riba jenis ini memiliki pengertian adanya manfaat yang disyaratkan oleh pemilik dana kepada yang berhutang.
Contoh: Hendi meminjam uang kepada Yusuf sebesar Rp1.000.000,00. Yusuf menyetujui namun dengan syarat ketika Hendi hendak mengembalikan uang, maka uang yang harus dikembalikan Yusuf adalah sebesar Rp1.500.000,00. Kelebihan Rp500.000,00 tersebut termasuk ke dalam riba Qardh.

B. Riba Jual Beli(Riba Al-Buyu’)
1. Riba Nasi’ah

Riba jenis ini memiliki pengertian adanya penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi lainnya. Riba ini muncul dikarenakan adanya perbedaan, perubahan dan/atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian
Contoh: Hendi membeli dan mengambil emas seberat 3 gram pada bulan ini, tetapi uangnya diserahkan pada bulan depan. Hal ini termasuk ke dalam riba Nasi’ah, hal ini dikarenakan harga emas pada bulan ini belum tentu dan pada umumnya akan berubah di bulan selanjutnya.

2. Riba Fadhl
Riba Fadhl memiliki pengertian apabila terjadi pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk ke dalam barang ribawi.
Contoh: Seseorang menukarkan 10 gram emas(jenis 916) dengan 12 gram emas(jenis 750). Pertukaran seperti ini tidak diperbolehkan, walaupun jenis 750 lebih berat dibandingkan jenis 916. Hal ini dikarenakan sebaiknya dalam pertukaran keduanya memiliki berat timbangan dan jenis yang sama.

BAHAYA RIBA
Pada pembahasan ini, penulis mengambil ayat-ayat Al-Quran dan Hadits yang spesifik berbicara tentang bahaya riba bagi
1. Pelaku Riba diancam dengan siksa api neraka
    Q.S Ali Imran(3):130
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan

2. Pelaku riba akan dihinakan di hari kiamat
    Q.S. Al-Baqarah(2):275

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu. (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

3. Pelaku riba tidak mendapat pahala saat hartanya diinfaqkan di jalan Allah
    Q.S. Ar-Ruum(30):39

39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

4. Dilaknat oleh Allah SWT.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)


5. Memakan Riba lebih buruk dosanya daripada perbuatan zina
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

SOLUSI KELUAR DARI RIBA
Di Era saat ini, memang sangat sulit untuk benar-benar terbebas dari riba. Dikarenakan sistem perbankan dan jual beli yang ada saat ini sangat sulit untuk menghindari riba. Namun, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan sebagai tindakan preventif, di antaranya sebagai berikut:
1. Lakukan Transaksi yang Diperbolehkan
Transaksi yang diperbolehkan dalam islam ada beberapa jenis, dimana salah satunya adalah transaksi mudharabah. Transaksi ini diperbolehkan untuk menghindari datangnya riba. Transaksi ini dapat dilakukan dengan cara kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Salah satu pihak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai orang yang menjalankan usaha. Transaksi ini dapat dilakukan dengan cara membagi hasil sesuai dengan yang disepakati. Ketika terjadi kerugian maka pihak pemodal yang harus menanggung biaya kerugian, sedangkan pihak lain tidak menanggungnya karena usaha dan tenaga yang dia kerahkan telah menjadi bagian dari kerugiannya.
Ada beberapa jenis transaksi lainnya, di antaranya adalah Salam dan Muajjal.

2. Memilih Lembaga Keuangan Syariah

Sekarang telah berdiri beberapa lembaga khusus yang menangani utang piutang serta urusan perbankan tanpa riba. Dalam struktur bank syariah diharuskan terdapat unsur Dewan Pengawas Syariah(DPS). Adapun tugas dari DPS adalah melakukan pengawasan terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh piak Bank agar selalu sesuai dengan prinsip syariah.

3. Bersifat Qonaah
Hal ini merupakan aspek internal dari dalam diri kita. Bagaimanapun, kebanyakan orang memutuskan jual beli secara riba adalah karena merasa kekurangan, sehingga hal yang bukan menjadi prioritas tapi ingin dimiliki akan diperjuangkan meskipun dana yang dimilki kurang cukup. Sifat bersyukur akan membantu kita dalam agar terhindar dari perasaan kekurangan dan ingin hidup dalam kemewahan.

4. Saling Membantu
Inilah konsep paling ampuh yang diterapkan Islam pada masa Rasulullah. Ketika masyarakat saling bantu tentu taraf kehidupan dengan sendirinya akan terangkat sehingga kebutuhan ekonomi serta kesulitan dapat teratasi. Perbanyak sedekah dan membantu orang fakir merupakan hal baik yang tidak akan menyebabkan harta kira berkurang, justru malah sebaliknya, InsyaAllah.


[REFERENSI]
Jurnal
Chair, Wasilul. 2014.”Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah”. Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, Vol.1, Edisi.1

Web
[1] https://sekolahmuamalah.com/sejarah-riba/(diakses tanggal 6 Maret 2018)